Dr. Agung Sudjatmoko*)
Diskursus masalah kebijakan pembentukan koperasi desa merah putih belum reda. Pro dan kontra masih muncul dari berbagai lapisan masyarakat, bahkan sampai di tingkat komunitas wong cilik. Tetapi pemerintah seakan yakin dengan kebijakan yang menyalahi “kodrat” mendirikan koperasi secara universal. Koperasi yang lahir di Inggris tepatnya Rockdale di tahun 1800 dimulai dari tahapan sebagai berikut:
1) Kesadaran yang
sama dari kaum buruh karena himpitan ekonomi karena gaji yang kecil, maka
2) Muncul kesamaan nasib dan keinginan untuk memperjuangkan kepentingan
ekonomi, sosial, dan budaya yang sama dengan melakukan joint financing
dan joint buying untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan harga murah dan
kualitas baik,
3) Karena perasaan senasib inilah memperkuat solidaritas dan
partisipasi aktif semua orang yang berkumpul hingga akhirnya membangun kekuatan
daya tawar ekonomi karena loyalitas akan manfaat berkoperasi,
4) ini yang
menjadi modal sosial dan memperkuat partisipasi serta trust dari anggota yang
yakin bahwa dengan kebersamaan, kekeluargaan, serta gotong royong mampu
meningkatkan kesejahteraan anggota koperasi.
Dalam gerakan koperasi dunia,
koperasi memberikan benefit kesejahteraan anggota atau disebut “member
promotion”.
Para penggiat koperasi termasuk saya merasa saat ini pemerintah membuat kebijakan menggunakan kendaraan koperasi suatu kesalahan besar. Banyak kebijakan yang sama sebelumnya tidak sukses mengangkat citra koperasi sebagaimana praktik koperasi di negara lain. Pak Presiden Kasus BUUD/KUD di era orde baru zaman Presiden Suharto menjadi sejarah buruk saat pemerintah Presiden Suharto tumbang. Berbagai masalah muncul dan banyak KUD yang mati dan meninggalkan hutang, ketidakjelasan kepemilikan aset, kasus penyimpangan dana, dan meninggalkan citra buruk di kalangan masyarakat.
Cerita Gagal Masa Lalu
Ada cerita KUD yang berhasil sampai hari ini untuk mengelola organisasi dan bisnisnya. Dan pernah koperasi khusunya KUD dijadikan kebijakan pemerintah untuk mendukung program pangan, yang mengantarkan Indonesia menuju swasembada besar tahun 1984 dan mendapatkan penghargaan sejati dari FAO karena dapat mengentaskan Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar dunia menjadi pengekspor beras di era Presiden Suharto. Suharto membangun pertanian indonesia karena kemelaratan, kesulitan pangan, dan jumlah penduduk yang besar. Sejak tahun 1970 Suharto menggunakan semua lembaga pemerintahan untuk konsentrasi membangun pertanian terutama beras dengan berbagai kebijakan yang sangat ampuh dalam bentuk inpres. Suharto memahami bahwa ketergantungan impor beras sangat membahayakan ekonomi negara. Dengan kekuatan kekuasaan sentralistik presiden akhirnya mampu membangun pertanian dan KUD menjadi motor penggerak yang diberikan privilege untuk menyalurkan saprotan (sarana produkti pertanian) dan saprodi (sarana produksi padi). Kebijakan membangun bendungan, irigasi, diterjunkan penyulu pertanian, dibentuk klompencapit, digencarkan sosialisasi melalui media radio dan televisi, diberikan target kepada pemerintah desa, kecamatan, kabupaten/kota dan semua instansi pemerintah untuk mensukseskan program swasembada pangan saat itu.
Walhasil program ini berhasil dan mendapatkan pengakuan dunia. Catatan penting saat itu presiden mempunyai kemampuan kuat dalam mengendalikan sistem pemerintahan yang sentralistik dengan gaya apik Pak Harto yang mempunyai pembantu-pembantu loyal dan profesional saat itu. Dengan kekuatan dan kemampuan kepemimpinan Suharto yang sangat kuatpun swasembada pangan dapat dicapai dalam kurun waktu 14 tahun.
Cerita lain program pembangunan ekonomi rakyat menggunakan koperasi dengan pendekatan top down di beberapa provinsi dan kabupaten kota menyisakan kegagalan yang memilukan dan menjadi “beban buruk” citra koperasi. Koperasi wanita (kopwan) di Jawa Timur era Gubernur Sukarwo, Program “Satu Koperasi Satu Desa” di provinsi Sulawesi Selatan dan NTT tinggal cerita. Koperasi RT/RW di beberapa kabupaten/kota juga mengalami nasib kegagalan yang sama. Pengamatan empirik tingkat keberhasilan koperasi dengan model top down seperti ini tidak lebih dari 1%. Semua koperasi yang diinisiasi oleh pemerintah dengan pendekatan top down dan formalistik gagal karena tidak menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab sosial, kebersamaan, hanya berorientasi fasilitas pemerintah, tidak ada kreatifitas apalagi inovasi, membunuh partisipasi anggota, tidak mengakomodasi kepentingan sosial ekonomi, dan berbagai antitesa dari prinsip pendirian koperasi swadaya dan mandiri. Kebijakan yang lucu dari pembantu presiden salah seorang menteri yang membolehkan pensiunan dan pengangguran di desa untuk menjadi pengurus atau pengelola koperasi. Ini juga sebagai ucapan yang tidak masuk akal dan tidak paham tentang koperasi dan bagaimana mengelola koperasi. Apa kata dunia pak presiden? orang yang tinggal menikmati hidup dengan pensiunnya atau yang pernah gagal bekerja disuruh mengelola koperasi?
Catatan keras saya keberhasilan koperasi selain membutuhkan modal sosial, trust dan kebersamaan adalah pengelola-pengelola yang profesional, kreatif, inovatif dan mempunyai kompetensi tinggi dalam bidang organisasi koperasi dan bisnis. Kalau kebijakan pembantu bapak seperti itu? Maka dijamin 80.000 Kopdes MP dan 400 triliun akan menjadi cerita sejarah kegagalan presiden karena kesalahan kebijakan dan penghamburan uang negara.
Rakyat Tidak Ingin Presiden Gagal
Cerita kegagalan ini akan diulang kembali oleh pemerintah Presiden Prabowo. Sangat disayangkan kebesaran nama Presiden sebagai anak Begawan Ekonomi dan penggerak koperasi yang memimpin IKPRI Prof. Soemitro Djojohadikusumo dengan baik akan membuat sejarah gagal membangun ekonomi rakyat dengan koperasi karena salah melakukan pendekatan membangun koperasi. Nuansa politis lebih kuat dari pada nuansa pemberdayaan ekonomi rakyat. Pak Presiden jangan mengulang membuat kebijakan yang menjadikan koperasi sebagai koperasi pedati (hadir dengan beban berat, tanpa kemampuan profesional mengelola bisnis dan organisasi) atau koperasi merpati (koperasi yang hadir karena kebijakan pemerintah karena didirikan oleh para avonturir yang tidak mempunyai kemampuan mengelola koperasi). Kesemua ini akan gagal karena soliditas pemerintahan Pak Presiden sangat rapuh, dan sudah kelihatan benturan kepentingan politik dengan multi partai ini dikalangan rakyat, bukan hanya pengamat. Bayang-bayang kegagalan bapak sebagai presiden sudah nampak, jika bapak teruskan akan tercatat dalam sejarah negeri ini, niat dalam visi misi dan kenyataan yang bapak ciptakan tidak sejalan, sehingga kegagalan akan menjadi mimpi buruk bapak memimpin negeri ini.
Sebagai penggerak koperasi saya memberikan solusi yang realistik.
1) Jangan menambah citra buruk koperasi dengan mendirikan koperasi desa merah putih, apalagi dengan menyeragamkan nama, karena apapun dalihnya itu politisasi koperasi dan dipastikan akan gagal.
2) Jumlah koperasi di negeri ini sudah terbanyak di dunia, yaitu ada 131.617
dengan 30 juta anggota, maka lebih baik dan cerdas kita membuat kluster
koperasi baik skala usaha maupun kekuatan sektor usahanya, dan setelah itu
dialokasikan dana sebesar 400 triliun untuk memperkuat bisnis koperasi
berdasarkan skala dan sektor usahanya tersebut sehingga menjadi pelaku ekonomi
yang dominan untuk melayani anggota atau masyakat serta meningkatkan jumlah
anggota koperasi yang ditargetkan Kemenkop tahun 2029 menjadi 65 juta anggota. Tidak
diperlukan juga 400 triliun itu digelontorkan ke koperasi-koperasi yang sudah
ada, tetapi sebagian dibuat untuk:
1) Membangun
ekosistem pembangunan koperasi tingkat nasional dan global dengan berbagai
kebijakan dan program strategis yang terarah dan terukur,
2) Membentuk lembaga
pembiayaan bisnis koperasi,
3) Membangun tata niaga dan akses pasar koperasi,
4) Memperkuat kualitas profesionalisme pengelola koperasi, serta
5) Memperkuat penguasaan teknologi koperasi termasuk teknologi digital.
Jika jalan ini yang ditempuh Pak Presiden maka arah keberhasilan kebijakan akan lebih cepat tercapai, karena koperasi yang diperkuat keberdayaanya sudah mempunyai best practise dalam mengelola organisasi dan bisnisnya dalam persaingan bisnis yang sudah ada.
*) Penulis adalah Ketua Harian DEKOPIN (Hasil Munas Ancol) dan Dosen PTS di Jakarta